Bahasa, Matematika dan Statistika Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah

Berpikir adalah hasil kerja pikiran. Pikiran manusia dan proses-proses berpikirnya selalu nampak sama misterius dan menakjubkannya seperti alam semsesta. Namun demikian, pendekatan ilmiah telah semakin memberi andil yang besar bagi pengetahuan. Selama abad terakhir ini telah banyak kejelasan baru yang didapatkan, mengenai hakekat proses berpikir itu dan sementara pengetahuan baru semakin bertambah, pandangan lama yang sederhana telah digantikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang kompleks. Setelah sekian lama, manusia semakin bertanya apa itu berpikir? Apakah semua misteri akan hilang kalau kita sudah memahami dan berfungsinya struktur anatomi kompleks yang kita sebut sistem saraf? Apakah berpikir itu memiliki misterinya sendiri?

Plato berpendapat bahwa “Pikir adalah organ yang hanya berkaitan dengan ide-ide murni, artinya tidak ada hubungannya dengan pengindraan karena pengindraan adalah fungsi badan rendah”. Sementara Edward De Bono berkata bahwa Pikiran adalah suatu sistem pembuat pola, sistem informasi dari pikiran pekerja untuk menciptakan dan mengenal pola-pola tersebut, prilaku ini tergantung pada susunan fungsional dari sel-sel urat saraf dalam otak.

Sedangkan ilmiah artinya berdasarkan ilmu pengetahuan. Ilmiah adalah bentuk kata sifat dari ilmu, dan ilmu berasal dari bahasa arab yang artinya tahu. Ilmu secara etimologis berarti ilmu pengetahuan sedangkan secara terminologi ilmu adalah semacam pengetahuan yang mempunyai ciri khas dan pensyaratan tertentu, berbeda dengan pengetahuan biasa. Mungkin untuk sementara kita bisa memakai definisi berpikir itu adalah gejala-gejala nafsiah yang terjadinya karena ada kesadaran didalam diri manusia yang memiliki kemampuan rohaniah untuk membentuk pengetahuan-pengetahuan, data-data ataupun berpikir biasa.

Berpikir adalah serangkaian aktivitas akal budi (rasio) manusia untuk dapat membedakan hal-hal yang memang sama (obyektif) serta mencari nisbat antara kedua hal tersebut untuk mencapai suatu kebenaran. Jadi berpikir ilmiah merupakan tahapan ketiga setelah kita berpikir biasa dan berpikir logis. Namun perlu dipahami bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah sejenis barang yang sudah siap yang muncul dari dunia fantasi akan tetapi pengetahuan ilmiah merupakan hasil proses belajar dan proses berpikir secara radikal terhadap sekumpulan pengetahuan-pengetahuan tertentu yang relevan dan sejenis yang universal dan kumulatif karena begitu rumitnya suatu ilmu dan karena persoalannya yang kompleks menuntut untuk dipecahkan guna memperolah kebenaran. Maka cara yang paling efektif dan efesien adalah melalui metode-metode ilmiah. Oleh sebab itu, perlu diketahui  apa saja yang  yang diperlukan bagi seseorang yang ingin bepikir ilmiah. Sarana-sarana itu meliputi; bahasa, matematika, serta statistika dan logika.

Melalui bahasa, manusia dengan manusia dapat saling menambah dan berbagi pengetahuan yang dimilikinya. Manusia dapat mengkomunikasikan dan mentransformasikan penalarannya melalui bahasa yang dimilikinya. Binatang tidak memiliki bahasa seperti manusia, tetapi hanya insting saja. Dua faktor yang menyebabkan manusia dapat mengembangkan pengetahuannya adalah penalaran dan bahasa. Dalam praktiknya, penalaran dibentuk oleh tiga pemikiran yaitu; pengertian/konsep, proposisi dan pernyataan. Tanpa tiga bentuk pemikiran tersebut, manusia tidak mungkin memperoleh penalaran yang benar. Contoh sederhana, mata melihat kambing dan warna hitam pada kambing, secara bersamaan telinga mendengar suara “mengembik” dari kambing tersebut.  Ketika indera sedang mengamati dan mendengar, di dalam otak langsung timbul gambaran imajinasi kata “kambing”, “hitam” dan “mengembik”. Dalam otak, sedang berjalan proses pengertian dan konsep. Setelah tahap ini tersusun dalam imajinasi berfikir, lantas manusia menyerap dan mengucapkan sesuatu sebagai pernyataan. Pernyataan yang terucap hasil proses pemikiran tadi disebut penalaran.

Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan. Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa verbal, maka manusia berpaling pada matematika. Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya, tanpa itu, maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Dalam hal ini kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat mejemuk dan emosional dari bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif sementara dalam bahasa verbal, kita hanya bisa membandingkan objek yang berlainan. Umpamanya gajah dan semut maka kita hanya bisa mengatakan bahwa gajah itu lebih besar dari semut. Berbeda halnya dengan matematika kita bisa menelusuri lebih jauh seberapa besar gajah dengan mengadakan pengukuran.

Matematika merupakan pengetahuan dan sarana berpikir deduktif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa artificial yakni bahasa buatan, keistimewaan bahasa ini adalah terbebas aspek emotif dan afektif serta jelas kelihatan bentuk hubungannya. Matematika lebih mementingkan bentuk logisnya. Pertanyaan-pertanyaan mempunyai sifat yang jelas. Pola berpikir deduktif banyak digunakan baik dalam bidang ilmiah maupun bidang lain yang merupakan proses pengambilan kesimpulan yang di dasarkan pada premis-premis yang kebenarnnya telah ditentukan, misalnya jika diketahui A termasuk dalam lingkaran B sedangkan B tidak ada hubungan dengan C maka A tidak ada hubungan dengan C.

Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual.
Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara emperis, karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Artinya, jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan hipotesis itu ditolak”, maka, pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa penarikan simpulan itu berdasarkan logika induktif.

Pengujian statistik mampu menggambarkan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang ditarik yang didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. Selain itu, statistika juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Selain itu, pengujian statistik mengharuskan kita menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.

Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat “boleh jadi”. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah “keboleh-jadian”, dalam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar.

Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan”. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.

Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, umpamanya, bagimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini menghadapkan kita kepada persoalan tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak. Maka statistika dengan teori dasarnya, yaitu teori “peluang” memberikan sebuah jalan keluar, memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran untuk seluruh anak yang berumur tersebut, tetapi hanya mengambil sebagian anak saja.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif. Jadi seseorang dapat melakukan generalisasi dengan menguasai statistik Memang betul tidak semua masalah membutuhkan analisis statistik, namun hal ini bukan berarti bahwa kita tidak perduli terhadap statistika sama sekali dan berpaling kepada cara-cara yang justru tidak bersifat ilmiah.

Dari uraian singkat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain; (1). Berpikir ilmiah adalah serangkaian aktivitas akal budi (rasio) menusia, untuk dapat membedakan hal-hal yang memang berbeda dan menyamakan hal-hal yang memang sama (objektif), serta mencari nisbat antara kedua hal tersebut untuk mencapai suatu kebenaran; (2). Sarana-sarana yang dipakai untuk berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika, statistika dan logika; dan (3). Proses berpikir ilmiah adalah merupakan sekumpulan langkah-langkah berpikir yang bersifat objektif, rasional, sistematis dan generalisasi.

Source; Jujun S. Suriasumantri. 1998. FILSAFAT ILMU: Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Yupi, Feb, 2011.